Pendahuluan
Sumber: danummurik.wordpress.com
Topik pilihan penulis dalam tugas akhir ini adalah menulis tentang sepak bola, setidaknya berdasarkan dua alasan utama. Pertama,
meskipun kelas amatir penulis termasuk hobi bermain dan menonton
pertandingan sepak bola. Bermain sepak bola baik sekadar olahraga,
ataupun dalam pertandingan resmi pernah penulis rasakan, pun menonton
sepak bola dari tingkat kampung hingga pertandingan resmi. Penulis
begitu menikmati sepak bola, baik sebagai pemain juga sebagai tontonan
yang entah melihat secara langsung, menonton di televisi, mendengarkan
siaran pertandingan di radio, atau mendengarkan gosip teman-teman
tentang skor pertandingan hingga status transfer pemain bola.
Kedua,
sepak bola dari segi pertandingan, pemain, dan penonton ternyata bisa
dikaji dari berbagai bidang disiplin ilmu. Padahal kita tahu permainan
sepak bola yang diikuti oleh dua kesebelasan, masing-masing tim
kesebelasan tentu berjumlah sebelas orang. Bersama seorang wasit, dua
orang hakim garis praktis semuanya berjumlah dua puluh lima orang, namun
dua puluh orang pemain, berebut satu buah bola untuk dimasukkan ke
dalam tiang gawang yang dijaga keeper. Sederhana sekali
tampaknya, tapi lihat saja di tribun ada ribuan hingga puluhan ribuan
penonton, belum lagi para penonton sepak bola yang melihat melalui
televisi. Konon sebuah pertandingan sepak bola dalam even Piala Dunia,
disaksikan oleh miliaran orang melalui siaran televisi.
Karena
hal tersebutlah, sepak bola menjadi sangat menarik, permainan ini tidak
hanya dilihat dari sudut pandang olahraga. Sepak bola bisa saja
dijadikan model dalam kehidupan sosial, ketika Levi-Strauss berbicara
tentang struktur sosial, ia menyebutkan, “Kehidupan sosial adalah seperti permainan.” Robert Layton (1997) memperjelas permainan itu adalah sepak bola dan mengatakan, “A sense of what a football match is like, nor will it enable one to predict which team will win the macth.”
Bahkan sepak bola menjadi ekspresi lain, dari sebuah olahraga penuh konflik. Blancard dan Taylor (1985) dalam The Anthropology of Sport menyebutkan, “Conflict
take many forms in any particular society, and some of these are often
defined by sporting events. In the United States, the conflictive
dimensions of football are perhaps the most obvious illustration of this
fact.” Itulah sebabnya, setiap berita tentang pertandingan sepak bola sering menggunakan istilah-istilah berbau peperangan.
Sebagai sebuah budaya massa, sepak bola
telah menarik minat para ilmuwan dengan pelbagai latar belakang: sosial,
ekonomi, politik, filsafat. Victor Matheson dari Departemen Ekonomi
William College, Inggris, dalam penelitiannya di tahun 2003 menyimpulkan
bahwa klub-klub profesional di Eropa dan Amerika Selatan menyumbang
pertumbuhan ekonomi yang signifikan kepada negaranya. Setiap klub,
dengan perputaran uang triliunan rupiah, setidaknya mempekerjakan 3.000
karyawan. Atau holiganisme di Inggris yang menarik minat para sosiolog
dalam meneliti pendukung sebuah kesebelasan. Para pemikir sudah lama
menaruh minat pada olahraga ini. Albert Camus pernah bilang bahwa
dirinya berutang kepada sepak bola karena olahraga ini mempertontonkan
soal moral dan tanggung jawab. Di masa mudanya, Camus pernah jadi kiper,
karena itu ia punya lebih banyak waktu merenungkan pertandingan. Claude
Levi-Strauss, Sartre hingga Gramsci juga sudah menulis kajian filsafat
sepak bola. Di Australia, pengelola klub menyeleksi pemain dengan teori
psikoanalisis Sigmund Freud[1].
Sisi
lain lain dari sepak bola, ternyata menyentuh dunia magis. Menurut
Malinowski ketika permainan diliputi perasaan emosional, antara harap
dan cemas mendalam akan ditemukan unsur-unsur magis. Penuturan wasit
Jimmy Napitupulu (Kompas, 16 September 2005), baik kompetisi Liga Djarum
Indonesia 2005 serta liga sebelumnya, ia mengetahui sejumlah kebiasaan
daerah yang mengikutsertakan kepercayaan spritual dalam memburu
kemenangan ”Seperti di Stadion Dipta Gianyar, Bali.
Ada kebiasaan
menggosokkan minyak babi pada tiang gawang serta titik kick off. Stadion
Agus Salim Padang, Sumatera Barat. Di sana kalau kita melakukan
inspeksi sebelum pertandingan, penjaga gawangnya minta kepada kita agar
tidak masuk dalam gawang. Di stadion Brawijaya Kediri, sebelum
pertandingan ada tiga butir telur yang persis diletakkan di titik kick off.
Di stadiun 17 Mei, Banjarmasin, khususnya di lapangan, akan terlihat
nampan di dalamnya terdapat dua gelas kopi kosong serta lisong yang
masih menyala.
Peristiwa Piala Dunia Spanyol 1982, Sindhunata mencatat:
“Kamerun
datang dengan dukunnya. Ke Stadion Vigo si dukun menenteng koper yang
berisi bulu-buluan. Sebelum pertandingan, ditaburkanlah bulu-buluan itu
terutama di lapangan tengah dan daerah berbahaya sekitar gawang. Dan
nyatanya, permainan Kamerun seperti “tersulap”. Underdog ini
menahan Italia: 1-1. Selama putaran pertama bahkan mereka tidak
terkalahkan. Mereka tersisih dari putaran kedua hanya karena kalah
perbedaan gol terhadap Italia. Mereka bahkan sempat mempertontonkan
kegalakkan kiper Nkono.
Menertawakan
“bulu-bulu magie” anak-anak Kamerun sebenarnya tidak adil. “Magie”
mereka sebenarnya bahasa lain dari “Tanda Salib”, yang selalu
diperagakan kesebelasan Amerika Latin ketika mereka memasuki lapangan.
“Atas nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus” itu adalah tambahan rahmat agar
mereka makin dapat “mengatasi” ulah si bola.”. (2002:47)
Kesempatan
ini, penulis mencoba kemungkinan untuk mengkaji sepak bola dari sudut
pandang pos-struktural. Diawali dari pemaparan sepak bola, kemudian
fakta multikulturalisme dalam sepak bola, hingga melihat nilai-nilai
pos-struktural dalam sepak bola.
Sejarah “Si Kulit Bundar”
Berkaitan
sejarah asal mula sepak bola, beberapa negara mengklaim sebagai tempat
asal mula terjadinya sepak bola. Artinya sejarah bola tidak tunggal,
Cina, Inggris, suku Indian, Yunani, Jepang punya cerita tersendiri
tentang sepak bola.
Mengutip
dari Succernova.com dijelaskan bahwa, tanggal 20 Mei 2004 Asosiasi
sepak bola Internasional (FIFA) dalam perayaan ulang tahunnya yang
ke-100 secara resmi mengakui bahwa sepak bola berasal dari negeri Tirai
Bambu. Di Cina sepak bola sudah dimainkan orang sejak 7.000 tahun yang
lalu—sebuah masa yang panjang dari sebuah klaim yang salah.
Selama ini
orang menganggap sepak bola lahir di Inggris pada abad 19. Para penulis
sejarah sepak bola juga seolah keberatan mengakui Cina sebagai negeri
yang melahirkan sepak bola. Inggris, dan Eropa pada umumnya,
sesungguhnya hanya mengembangkan olahraga ini dari apa yang sudah
ditemukan oleh orang-orang Asia Tengah.
Petualang
Italia, Marco Polo (1254-1324), mengenalkan sepak bola modern dari Cina
dan Jepang sewaktu kembali ke Eropa. Tapi para peneliti masih berdebat
apakah petualang itu satu-satunya orang yang berjasa membawa sepak bola
ke sana. Sebagian meragukan, sebagian lagi yakin Eropa telah “mencuri”
permainan ini dari Asia kuna lewat Marco Polo.
Catatan
tertua tentang sepak bola ditemukan di Cina dari masa Dinasti Tsin
(255-206 Sebelum Masehi). Manuskrip itu mencurigai, permainan ini
diperoleh secara turun-termurun sejak 5.000 tahun sebelumnya. Pada zaman
Tsin, permainan yang dinamai tsu chu ini awalnya dipakai untuk
melatih fisik para prajurit kerajaan. Kemudian berkembang menjadi
permainan yang menyenangkan kendati sulit dilakukan. Pemainnya tak hanya
anggota kerajaan tapi juga rakyat di seluruh Cina.
Satu
tim terdiri dari enam orang yang berlomba memasukkan bola dari kulit
binatang yang diisi rambut ke lubang jaring berdiameter 40 sentimeter.
Jaring setinggi 10,5 meter ditancapkan di tengah lapangan yang
dikelilingi tembok, mirip lapangan bola voli di zaman sekarang. Dengan tsu chu, orang Cina memahirkan kungfu. Aturan tsu chu
sangat sederhana: bola tak boleh disentuh tangan dan tim yang menang
adalah mereka yang paling banyak memasukkan bola ke dalam lubang jaring.
Orang
Jepang memainkan olahraga ini setelah pedagang dan siswa mereka
menyambangi Cina. Selain diperkenalkan oleh orang Cina sendiri ketika
mendatangi negeri-negeri sekitarnya. Dinasti Cina terkenal sebagai
bangsa penjelajah. Orang Jepang mengadopsi tsu chu dengan lebih kreatif. Mereka menamainya kemari.
Pemainnya dua sampai 12 orang. Gawangnya berupa dua pohon yang berdiri
sejajar. Olahraga ini sangat riuh karena para pemain saling berteriak
jika sedang mengendalikan atau akan menendang bola. Setiap pemain tidak
dibolehkan menjegal atau melukai lawan.
Kemari
mencapai puncak popularitas pada abad 10-16. Di tahun inilah, Marco
Polo datang ke sana karena sudah mendengar tentang permainan ini.
Peneliti yang meragukan Marco Polo sebagai pembawa sepak bola ke Eropa
karena di daratan ini sudah ada permainan bola ratusan tahun sebelum
Marco Polo lahir. Hanya saja permainan bola di hampir semua negara Eropa
sebelum abad 18 mirip rugbi di zaman sekarang.
Di Yunani bermain bola sudah dikenal 800 tahun Sebelum Masehi dengan nama episkyro dan harpastron.
Pasukan Romawi yang menyerbu Yunani tahun 146 Sebelum Masehi kemudian
mengadopsi permainan ini dan menyebarkannya seiring penaklukan
wilayah-wilayah Eropa. Kaisar Romawi Julius Caesar tercatat sebagai
penggemar harpastrum. Ia memakai permainan ini sebagai olahraga
melatih fisik pasukannya. Di Roma, luas lapangan harpastrum menyesuaikan
dengan jumlah pemain. Suatu kali harpastrum pernah dimainkan oleh lebih dari 100 orang. Karena itu sepak bola lebih mirip kerusuhan massal.
Penulis Romawi, Horatius Flaccus dan Virgilius Maro menyebut harpastrum
sebagai permainan biadab. Olahraga ini kemudian dilarang di seluruh
negeri. Sejarah sepak bola Eropa kemudian diwarnai oleh
bredel-membredel.
Orang
Inggris mulai mengenal sepak bola pada sekitar abad 8 M. Sama seperti
di Romawi, permainan bola di Inggris jauh lebih brutal. Dimainkan di
lapangan yang luas atau jalanan berjarak 3-4 kilometer. Raja Edward II
menyebut sepak bola sebagai “permainan setan yang dibenci Tuhan.” Ia
melarang rakyatnya melakukan olahraga ini pada April 1314, terutama
untuk kalangan ningrat. sepak bola dianggap kampungan karena menggunakan
tengkorak manusia sebagai bola. Raja khawatir jika prajurit terlalu
sering bermain bola mereka lupa latihan berkuda dan panahan untuk
menghadapi pasukan musuh. Raja-raja Inggris berikutnya melanjutkan
larangan itu hingga Ratu Elizabeth I (1533-1608).
Dalam buku The Anatomie of Abuses
yang ditulis Philip Stubbes tahun 1583 kekerasan itu terekam sangat
jelas. “Ratusan orang mati dalam satu pertandingan ini,” tulis Stubbes.
Pemain yang selamat banyak yang cedera parah: kalau tak patah kaki,
pasti remuk tulang punggung, atau kepala bocor, mata picek dan
seterusnya. Stubbes, seorang puritan yang serius, mengampanyekan
larangan sepak bola hingga gereja-gereja turun tangan. Apalagi ketika
itu permainan bola dilakukan saat hari minggu Sabath. Orang yang
mencuri-curi bermain bola dan ketahuan dimasukkan penjara selama
seminggu.
Di
Prancis sepak bola juga dilarang. Orang Prancis yang mengenal bola dari
tentara Romawi pada 50 Sebelum Masehi, juga bermain tanpa aturan dan
tanpa batasan jumlah pemain. Akibat larangan itu, sepak bola yang
dinamakan soule ini baru kembali dimainkan orang pada abad 12 M.
Tetapi dilarang kembali oleh Raja Felipe V di tahun 1319 yang diteruskan
oleh raja-raja Prancis berikutnya.
Kekerasan
sepak bola juga terjadi di Amerika Tengah. Suku Indian dan Aztek juga
sudah memainkan sepak bola ratusan tahun yang lalu. Hanya saja pada suku
Aztek permainan bola merupakan gabungan dari permainan basket, voli dan
sepak bola sekaligus. Di kalangan orang Indian, sepak bola lebih mirip
perang antarsuku yang digelar di lapangan mahaluas dan berhari-hari jika
skor masih imbang. Dengan pemain setiap tim berjumlah 500 orang,
permainan bernama pasuckaukohowog ini menghasilkan korban yang
cedera berbulan-bulan. Sebelum bertanding para pemain melakukan ritual
seperti sebelum maju perang. Mereka mengecat tubuh dan wajah dengan
gambar tertentu untuk menolak bala.
Sumber lain yang ditulis seorang analis bola Erwin Kustiman di Harian Republika (21 Juni 2004) yang mengutip buku The World Game, A History of Soccer
yang ditulis pakar sejarah sepak bola dari Universitas La Trobe
Bundoora Victoria Australia, Bill Murray, kemunculan sepak bola
sejatinya sudah bisa dijejaki (traced) di awal peradaban
manusia sejak awal Masehi. Masyarakat di era Mesir Kuna, tulis Murray,
sudah mengenal permainan ini dengan bola yang dibuat dari buntalan kain
linen. Salah satunya, konon masih tersimpan di museum sepak bola di
Inggris. Peradaban Yunani purba juga telah memainkan permainan yang
menggunakan bola, sebagaimana terpapar pada relief-relief di dinding
museum. Orang Yunani purba menyebut permainan itu sebagai episcuro.
Pada relief itu terlukis anak muda memegang bola bulat dan memainkannya dengan paha. Sekira abad kedua, episcuro hijrah ke Roma dan peradaban Romawi menyebutnya harpastum.
Dikisahkan, Kaisar Romawi Julius Caesar juga menggandrungi main
utak-atik dengan bola itu. Namun, Horatius dan Virgilius meremehkannya.
Bahkan, Ovidius menyebut permainan itu brutal, kasar mendekati biadab, dus tidak akan cocok dimainkan perempuan. Meski menjadi “wacana kontroversial” di kalangan elite Romawi kuno, toh
spirit kolonialisme Romawi ke berbagai belahan Eropa, membawa serta
“bibit permainan sepak bola” itu ke luar daratan Eropa, yakni Britania
Raya.
Murray
menulis bahwa sepak bola itu bukan semata milik peradaban Eropa. Kata
Murray, peradaban Aztek di Benua Amerika Latin sana, juga sudah
mencicipinya. Di kawasan peradaban tua Asia, Tiongkok, sejak 206 SM pada
masa Dinasti Han sudah dikenal adanya olahraga olah bola ini. Dokumen
militer setebal 25 bab menyimpan menjadi manuskrip sejarah yang
menyimpan catatan tersebut.
Menurut manuskrip itu, permainan bola itu disebut sebagai Tsu Chu. Tsu berarti “menerjang bola dengan kaki”, sementara Chu
berarti “bola dari kulit dan ada isinya”. Di Jepang, sejak abad 8 M,
konon juga sudah ada permainan ini. Mereka menyebutnya sebagai Kemari. Bola yang dimainkan terbuat dari kulit kijang berisi udara.
Sepak
bola dalam catatan sejarahnya memang, berlangsung dengan penuh
kekerasan dan tragis. Meskipun juga diakui kekerasan itu masih
berlangsung sampai sekarang, ketika terjadi perkelahian antarpemain,
hingga kerusuhan oleh penonton. Sepak bola Indonesia mengenal istilah bonek
sebutan untuk suporter bola dari Persebaya Surabaya, mereka sering
berbuat onar terlebih ketika klub kesayangannya mengalami kekalahan.
“Masyarakat
pecinta sepak bola dunia tentu tidak bisa melupakan peristiwa di
Brussel, Belgia, 19 Mei 1985. Jarum jam menunjuk angka lima saat sekitar
60 ribu orang mulai merangsek ke dalam Stadion Heysel. Sebagian di
antara mereka rada mabuk. Petang itu dua klub bergengsi, Juventus dan
Liverpool, hendak bertarung memperebutkan lambang kehormatan dunia klub
sepak bola Eropa: Piala Champions.
Ada
Platini dan Paolo Rossi di Juve. Ada Bruce Grobbelaar dan Kenne
Dalglish di Liverpool. Menghadapi pertandingan yang bakal dahsyat itu,
dengan pendukung fanatik masing-masing yang seolah siap bertempur, semua
pihak telah siaga. Tak seorang pun cemas. Di dalam stadion, kubu
pendukung sudah dipisahkan. Para penggemar kaos hitam-putih (Juve) di
sektor kanan dan fans kaos merah di sektor kiri. Mereka
melambai-lambaikan bendera klub—sebuah perwujudan esprit de corps yang penuh gairah.
Di
antara kedua kubu terdapat sektor Z. Sektor netral ini ditempati
orang-orang Belgia, tak jelas mereka mendukung tim yang mana. Lalu
datang pula sebuah keluarga kecil, orang Italia meski bukan anggota klub
penggemar Juventus. Tapi, sungguh, menjual tiket di sektor Z kepada
orang Italia adalah sebuah kesalahan fatal yang dibuat panitia.
Dalam
hitungan detik stadion penuh dengan nyanyian perang, pukulan genderang
yang menghentak jantung, dan percikan kembang api. Bendera-bendera
dikibarkan. Teriakan-teriakan penonton kian memacu adrenalin. Pelan tapi
pasti, spirit kedua kelompok pendukung itu makin terpisah.
Kira-kira
pukul 19.00 ketika pertandingan babak pertama tengah berlangsung dan
Juve unggul 1-0, tiba-tiba saja puluhan pendukung Liverpool menyerbu ke
arah penonton di sektor Z. Orang-orang Italia itu tewas. Situasi kacau.
Kerusuhan tak terbendung. Banyak penonton terjepit. Dalam waktu kurang
10 menit, 39 orang mati”. (www.koran tempo.com)
Tetapi
mengingat satu sisi dari sepak bola saja, bukanlah hal menyenangkan.
Pembahasan berikut ini mencoba melihat keberadaan sepak bola yang
menentang rasisme dan individualisme. Sepak bola menegakkan
multikulturalisme dan membawa misi kemanusiaan untuk mensejahterakan
umat manusia.
Nonindividual dan Multikulturalisme
“Hei
Munez kemarilah!” kata seorang pelatih sepak bola Newcastle United,
kepada salah seorang calon pemain bola. Ia melanjutkan instruksinya,
“Saat aku bilang mulai, aku ingin kau lari secepat mungkin ke gawang,
paham?” Munes menjawab, “Ya”. Segeralah pelatih itu menendang bola
menuju dalam gawang, beberapa kali ia melakukannya dan Santiago Monez
pemain muda berbakat, seorang imigran gelap yang terbang ke Inggris
untuk mengadu nasib di sepak bola profesional ternyata tidak bisa
mendahului kecepatan bola.
Setelah
itu sang pelatih bertanya, apa yang dipelajari dari ketidakmampuan
mengejar bola tersebut. “Engkau bisa mencetak gol dari jarak jauh”
terang Munez, ternyata bukan itu yang dimaksud pelatih. “Tidak. Bola
bergerak lebih cepat dari dirimu, ini kita oper mengerti? Kita ini unit
bukan pertunjukkan satu orang. Nama (klub) di depan seragam lebih
penting dari nama (pemain) yang di belakang”
Dari
dialog dalam sebuah film dokumentasi tersebut, penulis mencoba memahami
dua hal. Pertama, kemampuan individu meskipun hebat bukanlah utama
dalam permainan sepak bola, karena sepak bola merupakan tim kesebelasan
bukan pertunjukkan satu orang. Kedua, sepak bola bisa diikuti siapa saja
dengan latar belakang apapun. Erat kaitannya dengan multikulturalisme
dalam pemain sepak bola, olahraga ini dalam prakteknya berusaha keras
melawan rasisme.
Afrika
Selatan, setahun tahun 1948 orang kulit hitam didiskriminasi. Martabat
mereka diinjak-injak. Tidak kurang 200.000 orang kulit hitam meringkuk
di penjara dengan perlakuan yang tidak layak. Banyak di antara mereka
disiksa dan mati di penjara. Nelson Mandela sendiri diasingkan dengan
kejam 27 tahun lamanya. Sepuluh tahun pertama ia mendekam di tahanan
tanpa koran, tanpa radio, dan tidak boleh di kunjungi siapapun.
Namun
tim sepak bola Afrika Selatan berusaha menghapus catatan kelam
tersebut, perlahan-lahan mengatasi perbedaan suku, bangsa, agama, ras,
dan golongannya. Piala Dunia 1998 mereka mengusung seemboyan “one nation, one soul”.
Memang secara psikologis, kesebelasan “Bafana Bafana” ikut memupuk
persaudaraan nasional Afrika Selatan. “Teman terbaik penulis adalah
orang kulit hitam,” kata gelandang Afrika Selatan, Mark Fish
(Sindhunata, 2002a:159)
Dari
Afrika Selatan kita beralih ke Belanda. Seorang teman dari Blitar
pernah bertanya kepada penulis “Kamu tahu siapa pemain bola yang penulis
senangi?” Tentu saja jawaban penulis “Tidak!” “Dialah Pattrick
Kluivert, pemain penyerang dari tim Nasional Belanda”, jawabnya. Penulis
masih bingung kemudian mencoba bertanya alasannya. “Karena Kluivert
berasal dari Suriname, sementara Suriname banyak orang asli Jawa”.
Penulis baru mengerti penjelasannya, kenapa orang Indonesia mencintai
pemain Belanda, melainkan ada pemain yang nenek moyangnya dari tanah
Jawa.
Tentang multikulturalisme sepak bola Belanda, Sindhunata (2002b) menceritakan:
Saya rasa, penulis adalah serdadu Oranye yang sejati. Begitulah pengakuan diri pemain Belanda, Patrick Kluivert, suatu kali. Soldaat van Oranye, serdadu
Belanda itu ternyata bukan hanya Edwin van der Sar, Jaap Stam, dua
bersaudara Frank dan Roland de Boer, Dennis Bergkamp, Bert Kontertman,
Ed de Goey, dan para pemain kulit putih lainnya.
Di
samping Kluivert, serdadu Belanda itu ternyata juga pemain berkulit
hitam, Michael Reziger, Clarence Seedorf, dan Aron Winter. Malahan
jendral yang memimpin serdadu Belanda itu juga berkulit hitam, Frank
Rijkaard. Di bawah Rijkaard, tidak terasa lagi adanya perbedaan antara
pemain Belanda asli dan pemain Belanda berdarah Suriname.
Selain
Belanda, sesungguhnya multikulturalisme menarik melihat kesebelasan tim
nasional Prancis. Di sana ada Zinedine Zidane (asal Aljazair), Marcel
Desailly (asal Kamerun), Lilian Thuram (asal Senegal), Patrick Vieira
(asal Senegal), atau David Trezeguet yang berdarah Argentina. Lalu masih
ada pemain-pemain terkenal black atau colored lainnya, seperti Thierry Henry, Sylvain Wiltord, Louis Saha, dan Claude Makelele.
Baik
Belanda maupun Prancis adalah pantulan dari proses sosial yang kini
sedang terjadi di Eropa, yakni proses yang menuju masyarakat
multikultural. Prosesi ini terjadi karena sejarah masa lalu Belanda
maupun Prancis. Di masa lalu, Belanda dan Prancis sama-sama menjelajah
untuk menemukan dunia baru. Akibatnya, sekarang baik Belanda maupun
Prancis mempunyai anggota masyarakat yang berbeda-beda dan tidak
seragam. Perbedaan ini membuahkan keuntungan positif (Sindhunata,
2002b:314).
Bahkan Azyumardi Azra (2004), ikut berbicara tentang sepak bola. Menurutnya:
Sepak
bola kini semakin melintasi batas-batas sosial, kultural, etnis, agama,
ideologi, dan negara. Tetapi, agaknya sepak bola Eropa, khususnya,
lebih dari sepak bola di kawasan-kawasan lain, seperti di Amerika Latin,
semakin menampilkan dunia kita yang semakin multikultural, yang pada
gilirannya cepat atau lambat mengharuskan adanya pandangan dunia dan
sikap multikulturalisme, yang pada gilirannya terejawantah dalam
kehidupan sehari-hari.
Ada
dua argumen oleh Azyumardi: pertama, meningkatnya migrasi orang-orang
dari wilayah-wilayah yang sebelum Perang Dunia II merupakan jajahan atau
koloni negara-negara, khususnya Prancis, Inggris, dan Belanda. Kedua,
globalisasi yang mengurangi restriksi-restriksi dalam lapangan kerja.
Pada saat yang sama penciptaan Uni Eropa telah memungkinkan klub-klub
profesional di Eropa merekrut para pemain dari negara lain secara hampir
tanpa batas.
Masyarakat
Eropa sedang menjadi masyarakat multikultural. Mereka bergerak menuju
pada hidup rukun dalam keberagamaan. Kata Joseph Weiler, profesor dari
Harvard yang juga pengamat Uni Eropa, masyarakat Eropa harus mau
menerima perbedaan tanpa meniadakan perbedaan itu (Sindhunata,
2002b:316). Dengan multikultural dalam sepak bola ini, diharapkan Eropa
menjadi lebih menghargai perbedaan, dan meniadakan ketertindasan
terhadap negara-negara terbelakang yang dianggap sebagai dunia ketiga.
Piala Dunia 2006 di Jerman, bukti multikultural ini makin terlihat pada negara-negara lain. Menurut Erwin Kustiman, bahwa:
Seolah
ingin mengolok-olok manusia yang memang senang membuat stigma, juga
membuat hierarki (penggolongan) atas nama kasta, ras, juga agama. Jerman
pada masa Perang Dunia lekat dengan keangkuhan ultranasionalisme ala
Hitler, yang melemparkan manusia ke lembah kenistaan diskriminasi.
Namun,
lihat kini, di Jerman (bersatu)—yang tak lagi dipisahkan sekat
ideologi—tertayang wajah dunia yang memang multikultural dari sananya,
lewat sajian sepak bola. Bahkan, di tubuh tim dari negara yang sempat
mengapungkan jargon ultranasionalisme Deutsche Ubber Ales itu juga terdapat pemain berkulit hitam, Gerald Asamoah (kelahiran Mampong, Ghana).
Sebaliknya,
siapa bilang di tubuh tim Angola, hanya berderet prajurit hitam? Di
sana juga terselip seorang berkulit putih, Paulo Jose Figueiredo. Pemain
kelahiran 28 November 1972 dan berposisi sebagai gelandang ini memiliki
darah Portugal. Namun, ia lahir di Malange, Angola, hanya tiga tahun
sebelum kemerdekaan Angola pada 1974. Orang tuanya memang sempat kembali
ke Portugal saat perang saudara mulai menggayuti Angola. Meski begitu,
Fugueiredo, tak pernah lupa tanah kelahirannya.
Di tim Azzurri
Italia, juga terselip nama Mauro Camoranesi yang sejatinya berdarah
Argentina. Pemain kelahiran 4 Oktober 1976 sempat mencuatkan kontroversi
di negeri asalnya, karena memilih Azzurri ketimbang Albiceleste.
Hal
sama juga menggejala di tim asal Asia. Siapa nyana Skuad “Samurai Biru”
Jepang juga dihuni pemain asal Brasil, Alessandro “Alex” Santos. Pemain
kelahiran 20 Juli 1977 ini, memilih memperkuat Jepang sejak 2002. Sejak
1997, ia memperkuat klub setempat, Shimizu S. Pulse
(www.pikiran-rakyat.com)
Dari
kesebelasan tim nasional negara-negara dunia, nampaknya sedikit berbeda
dengan yang terjadi dengan tim-tim elite dunia. Meskipun Ronaldinho
gelandang serang tim Barcelona Spanyol, sempat terharu ketika
kesebelasan lawan memberikan standing applaus kepadanya atas
kehebatannya bermain. Mungkin Ronaldinho terharu, sebab ia teringat
nasib temannya Samuel Eto’o yang mengalami perlakuan rasis.
Tahun
2005, dua klub Spanyol, yaitu Real Zaragoza dan Racing Santander,
pendukung mereka menghina Samuel Eto’o, pemain Barcelona asal Kamerun
sebagai balasan Federasi Sepak bola Spanyol mendenda dua klub tersebut.
Mengutip dari bbc.com perlawanan dilakukan organisasi sepak bola dunia
FIFA melawan rasisme.
November
2004, FIFA juga menjatuhkan denda atas Federasi Sepak bola Spanyol
sebesar £45.000 karena beberapa pemain Inggris diejek secara rasial
dalam pertandingan persahabatan di Madrid. Dan pernyataan Domenech
menjelang pertandingan Prancis-Spanyol muncul pada hari yang sama saat
FIFA mengumumkan sanksi yang lebih berat bagi asosiasi sepak bola yang
gagal menerapkan hukum pemberantasan rasisme.
Mulai
Bulan Juli 2006, FIFA akan memberlakukan hukum tegas untuk memberantas
rasisme, antara lain memberlakukan pengurangan angka bagi klub yang
penggemarnya melakukan ejekan rasialis. Menurut Presiden FIFA, Sepp
Blatter, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum itu adalah
asosiasi sepak bola negara bersangkutan. “Dan jika mereka tidak
melakukan seperti yang diharapkan, maka Komite Eksekutif FIFA harus
campur tangan.”
Dalam
Piala Dunia di Jerman, Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) bahkan telah
berkampanye melawan rasisme dan akan menghukum pemain yang rasis. Namun
kejadian tersebut meskipun berhasil diminimalisasi, ternyata masih saja
tetap terjadi.
Zinedine
Zidane, maestro sepak bola dunia, tidak saja karena keterampilan
individunya, tapi juga perilakunya yang baik di lapangan, tiba-tiba
berbalik dan menyeruduk pemain belakang Italia, Marco Materazzi, saat
pertandingan tinggal sepuluh menit lagi. Sebagai pemain kunci, Zidane
tentu terbiasa disakiti secara fisik. Namun dalam perjalanan kariernya,
ia dapat menerima kekerasan di lapangan itu. Lalu mengapa tiba-tiba
Zidane, di puncak kariernya, gagal menahan emosi dan mengorbankan
prestasi sebagai pemain terbaik dunia?
Pers
dan sejumlah pengamat sepak bola percaya, Materazzi telah memprovokasi
Zidane dengan pernyataan sangat menyakitkan dan sensitif, itu bisa saja
berkaitan dengan keyakinan yang dianut Zidane. Kelompok antirasisme di
Paris, SOS Racism, mengutip sumber-sumber yang mengetahui, menyatakan
bahwa Materazzi menuding Zidane sebagai ‘teroris kotor’.
Materazzi
telah membantah soal itu. Tetapi, FIFA yang bertekad melawan rasisme,
harus menyelidiki soal ini secara serius. Dan, Zidane tidak boleh diam
dan membiarkan tetap menjadi korban. Dia harus mengatakannya, mewakili
ratusan juta manusia yang mencintainya, dan mereka yang selama ini
disakiti (www.republika.com).
Dari fakta sepak bola tersebut, penulis mencoba menarik benang merah yang berkaitan dengan pos-modern, menurut Alois A Nugroho:
Pos-modernisme
masih menjanjikan keberlangsungan hidup dan bahkan keberlangsungan dari
hidup yang sejahtera. Bentuk moderat dari pos-modernisme ini akan kita
sebut sebagai “multikulturalisme”.
Multikulturalisme
memuat banyak kelebihan etis maupun praktis, namun dia mengandung
kekurangan dalam satu hal besar, yakni membatasi fungsi rasio hanya
sebagai sebuah strategi untuk mempertahankan hidup dan hidup lebih
sejahtera. Rasio sebenarnya dapat beroperasi dengan bertolak dari
pangkalan yang sama sekali tak berhubungan dengan pengalaman langsung,
berkelana di wilayah-wilayah abstrak dan berhenti pada oasis-oasis
abstrak dari gurun abstrak tanpa tepi. Rasio adalah operasi imajinasi,
namun imajinasi itu adalah imajinasi rasional, artinya imajinasi yang
memiliki disiplin diri.
Dalam
arti ini, salah satu nilai lebih dari pos-modernisme ialah bahwa ia
mendorong terjadinya konsientisasi. Kaum pinggiran diberanikan untuk
membongkar atau mendekonstruksi rasionalitas-rasionalitas opresif dan
mengubah sejarah serta masyarakat melalui “kata-kata” mereka sendiri.
Kalau
melihat spiritualitas posmodern bahwa hubungan dengan orang lain
dianggap sebagai yang bersifat internal, esensial, dan konstitutif.
Aspek lain adalah organisme, kaum pos-modern tidak merasa
seperti makhluk asing yang hidup dalam alam yang jahat dan tidak peduli
melainkan merasa kerasan di dunia (David Ray, 2005:32). Dalam sepak bola
hal tersebutlah yang diperjuangkan, orang berkulit hitam ataupun
imigran mendapatkan tempat yang layak dengan teman-temannya yang
berkulit putih.
Oleh
karena itu, kenyataan yang sangat relevan bagi pos-modernisme adalah
multikulturalisme. Begitupun kewajiban yang sangat relevan bagi
pos-modernisme adalah kewajiban untuk menghormati hak-hak untuk berbeda
secara budaya (the right of cultural diversity). Lebih lagi,
pos-modernisme yang sangat menggarisbawahi sekat-sekat yang ditimbulkan
oleh incommensurability pun sama sekali tidak menganjurkan “benturan
peradaban”. Sebaliknya yang dianjurkan ialah “toleransi” dalam bentuk
norma “non-cruelty” antarmanusia dan dengan demikian juga antarperadaban
(Rorty, 1989: 189-198 dalam Nugroho, 2005).
Dari “sepak bola multikultural” itu, menurut Erwin Kustiman:
Kita
belajar bahwa perbedaan kultural tidak masalah. Justru, menjadi modal
memperkaya sebuah tim. Setiap orang dari sebuah entitas kultural, ras,
dan agama berbeda, tentulah punya pola pikir dan cara hidup berbeda.
Akan tetapi, karena perbedaan itulah, semua saling tahu tempatnya
masing-masing dan saling menghormati. Multikulturalisme dalam sepak
bola, karenanya, seiring sejalan dengan sikap inklusif. Mengenyahkan
segenap etnosentrisme, fanatisme, dan eksklusivisme sempit! Sayangnya,
justru di panggung kehidupan keseharian, perbedaan manusia yang niscaya
itu, justru begitu mudah memercikkan anarkisme. (www.pikiran-rakyat.com)
Maka
dari waktu ke waktu, dari monokulturalisme berubah menjadi
multikulturalisme, hingga terjadilah pengakuan akan keberadaan dan
kemampuan individu lain terlepas dari perbedaan warna dan asalnya.
Terbuktilah sepak bola benar-benar menembus batas olahraga.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi.
2004. “Sepabola Multikultural dan Multikulturalisme”. Harian Kompas, 22 Juni 2004.
Blanchard, Kendall and Cheska, Alyce Taylor.
1985. The Anthropology of Sport an Introduction, Bergin & Garvey Publisher, Inc: Massachussetts.
Douglas, Mary Tew and Isherwood, Baron.
1979. The World of Goods, Basic Books, Inc., Publishers: New York.
Griffin, David Ray.
1995. “Pendahuluan: Spritualitas dan Masyarakat Modern” dalam Griffin, David Ray, Visi-Visi Pos-modern, Spritualitas & Masyarakat, Yogyakarta: Kanisius.
Layton, Robert.
1997. An Introduction to Theori in Anthropologi, Cambridge University Press: United Kingdom.
Sindhunata.
2002a Air Mata Bola Catatan Sepak Bola Sindhunata, Penerbit Kompas: Jakarta
2002b Bola-Bola Nasib Catatan Sepak Bola Sindhunata, Penerbit Kompas: Jakarta
2002c Bola di Balik Bulan Catatan Sepak Bola Sindhunata, Penerbit Kompas: Jakarta
“Benturan Peradaban, Multikulturalisme, dan Fungsi Rasio”. Alois A Nugroho, harian Kompas, 4 April 2003. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/04/Bentara/229955.htm
“Jawaban Henri Atas Rasisme”. BBC Indonesia. http://www.bbc.co.uk/indonesian/sports/story/2006/06/printable/060629_rasisme.shtml
“Katakan
Zidane” Asro Kamal Rokan, Republika 12 Juli 2006.
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=256167&kat_id=19&kat_id1=&kat_id2=
“Kisah Eropa Mencuri Bola” http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNg==&dokm=MDY=&dokd=MjU=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=Q1JT&uniq=Mjk3
“Multikulturalisme Sepak bola”, Erwin Kustiman, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/062006/27/PD09.htm
0 comments :